Senin, 08 April 2013

ARSITEKTUR AMFIBI : ARSITEKTUR HIJAU YANG BERSAHABAT DENGAN AIR & BEBAS BANJIR

Terbit dalam Kalteng Pos 7 Maret 2013

Bila musim penghujan tiba, banjir adalah permasalahan yang paling kompleks yang terjadi di Indonesia saat ini. Di Kalteng yang mana sebagian besar permukiman di perkotaannya dibangun di lahan basah dan tepian sungai, bila musim penghujan tiba, banjir kerap kali datang melanda ke permukiman-permukiman yang didirikan di lahan basah maupun di bantaran sungainya.

Banjir di lahan basah dan bantaran sungai memang tidak dapat di hindari, karena lahan basah dan bantaran sungai itu sebetulnya rumahnya air bila musim penghujan tiba.  Namun demikian banjir dapat di cegah atau diminimalisir dampaknya bagi permukiman-permukiman yang dibangun di lahan basah maupun di bantaran sungai, dan salah satu caranya adalah yang telah dilakukan secara turun-temurun di wilayah Kalimantan pada umumnya dan Kalteng pada khusunya yaitu dengan bentuk Panggung. Akan tetapi, saat ini, seiring dengan adanya dampak pemanasan global, permukiman-permukiman di Kalteng yang berbentuk panggung yang dibangun di lahan basah maupun dibantaran sungai tersebut, kini sebagian besar lantai huniannya juga terendam air. Untuk itu muncul pertanyaan, apakah dengan bentuk panggung tersebut namun tetap kebanjiran maka sebaiknya kita buat bentuk panggung yang lebih tinggi lagi ?, sehingga perlu tiang-tiang kayu yang lebih panjang lagi ?, yang mana  kayu kini agak sulit diperoleh. Atau menggunakan tiang-tiang beton bertulang, namun untuk rumah tinggal, tiang-tiang beton bertulang dinilai tidak efektif dan efisien yang mana tentunya juga dinilai sangat mahal hanya untuk konstruksi dasar rumah. Atau alternatif lain yaitu dengan menciptakan permukiman di lahan basah dan bantaran sungai yang anti banjir.

ARSITEKTUR AMFIBI SEBAGAI SOLUSI
Banjir yang akhir-akhir ini sering melanda permukiman-permukiman yang dibangun di lahan basah dan bantaran sungai di Kalteng membuat banyak masalah, sebab permukiman yang terendam banjir bisa membahayakan orang yang ada di dalam rumah.  Oleh karenanya, perlu dicarikan solusi Arsitektur yang Anti Banjir yang bisa menjadi alternatif terbaik bagi permukiman lahan basah dan bantaran sungai yang sering dilanda banjir bila musim penghujan tiba. Arsitektur anti banjir ini dapat diwujudkan melalui konsep arsitektur amfibi

Arsitektur Amfibi ini, bila banjir  akan mengapung sehinga arsitektur ini tidak akan terendam air. Jadi ketika terjadi banjir, dan sekeliling arsitektur bangunan terendam, dengan konstruksi apung yang dipegang oleh 2 – 4 tiang atau lebih akan mengangkat arsitektur sehingga akan mengapung. Tiang pegangan itu juga berfungsi agar arsitektur tak terombang-ambing atau lari terbawa arus. Dengan demikian, Arsitektur Amfibi tetap dapat eksis saat lahan yang dipijak itu kering pada musim kemarau maupun saat lahan banjir pada musim penghujan. Agar tidak terlalu membebadi konstruksi apung, maka bahan bangunan yang dipilih adalah bahan - bahan yang ringan dan ramah lingkungan. Berikut diilustrasikan perbandingan arsitektur tidak panggung, arsitektur panggung dan arsitektur amfibi saat lahannya kering di musim kemarau dan saat banjir di musim penghujan.

Perbandingan Arsitektur Tak Panggung, Arsitektur Panggung dan Arsitektur Amfibi Saat Banjir hingga 9 meter. (Sumber gambar The Buoyant Foundation)

BERSAHABAT DENGAN AIR MELALUI ARSITEKTUR AMFIBI
Memang sebetulnya, lahan basah dan bantaran sungai itu tidak diperuntukkan untuk permukiman karena lahan basah dan bantaran sungai itu merupakan rumahnya air bila musim penghujan tiba.  Lahan basah dan bantaran sungai akan lebih memiliki nilai jual bila dikemas melalui kepariwisataan, namun yang perlu diperhatikan adalah dampak yang dihasilkan dari kegiatan kepariwisataan dan arsitektur-arsitektur pendukungnya tidak mencemari lahan basah maupun sungai dan bantarannya.

Apabila lahan basah dan bantaran sungai tetap menjadi pilihan sebagai kawasan permukiman, alangkan baiknya bila permukiman yang diciptakan tersebut adalah permukiman yang bersahabat dengan air. Melalui konsep Arsitektur Amfibi ini, seluruh permukiman yang dibangun di lahan basah dan bantaran sungai  akan mengapungkan rumah-rumah, jalan-jalan lingkungan, fasilitas-fasilitas sosial / umum bahkan septictanknya akan mengapung bila air yang merupakan penghuni asli lahan dan bantaran sungai itu datang saat musim penghujan. Melalui konsep Arsitektur Amfibi ini juga, air hujan yang menimpa atap-atap bangunan di panen melalui tandon-tandon air. Dengan memanfaatkan bahan-bahan bangunan yang ramah lingkungan dan ringan, memanen hujan bila musim penghujan, dan mempersilahkan air menggenangi lahan basah dan bantaran sungai, akan tercipta Arsitektur Hijau yang bersahabat dengan air dan bebas banjir.

Model Permukiman Lahan Basah Berkonsep Arsitektur Amfibi Untuk Kawasan Mendawai Palangka Raya

Kalteng Pos 7 Maret 2013


Selasa, 12 Juli 2011

PALANGKA RAYA : DULU DAN KINI

 Pesanggrahan Iseng Mulang & RTH nya.

 SMAN I

 Kantor Badan Pertanahan Kota

 SD I Langkai

 Kantor BKJM Kalawa Atei

 Kantor Dinas Pendidikan Prov Kalteng

 JL. Katamso

 Kantor Walikota, kini Puskesmas Pahandut
 Jl. Kalimantan, Pahandut : Dulu (1924) & Kini (2011)
 Pahandoet Abraham Badjas........Pelabuhan Rambang : Dulu & Kini

 Bandara

 Kantor PU
 Dulu Kantor Gubernur, kini DPRD Kalteng

Selasa, 31 Mei 2011

MASJID MASJID PERTAMA DI KALTENG

 Kotawaringin Lama (Pangkalanbun)
 Kotawaringin Lama (Pangkalanbun)
 Sampit
 Sukamara
 Nanga Bulik
 Puruk Cahu
Kuala Kapuas

Senin, 23 Mei 2011

RUANG DEMOKRATIK, RUANG PUBLIK DAN TAMAN KOTA

Wijanarka

Terbit dalam harian Banjarmasin Post, April 2004

Suatu kota dapat dikatakan demokratik apabila dalam desainnya dihadirkan ruangan yang disebut ruang publik (publik space). Ruang publik yang merupakan ruang kota (urban space), dalam sejarah kota, sebetulnya telah ada sejak zaman kerajaan Romawi (2 SM) yang merupakan kerajaan demokrasi. Dalam ruang yang dibentuk oleh konfigurasi massa bangunan ini, sesama masyarakat kota dapat menyampaikan pendapat maupun kritikan untuk seseorang yang sedang berkuasa melalui anggota senat kerajaan.
Dalam perkembangannya ruang demokrasi yang dikenal dengan sebutan roman forum, berkembang menjadi square di zaman abad pertengahan, piazza di zaman renaisance dan kini berkembang menjadi ruang-ruang kota yang berfungsi sebagai ruang publik. Fungsi ruangan pun berkembang dari hanya berfungsi sebagai ruang demokrasi, kini juga berfungsi sebagai tempat bertemunya masyarakat kota guna melakukan kontak sosial, berolahraga, berekreasi bahkan berpolitik. Dalam bentuk desain juga mengalami perkembangan dari yang dibentuk oleh konfigurasi massa bangunan (perangkat kasar), berkembang menjadi ruangan yang dibentuk oleh vegetasi (perangkat lunak) atau kombinasinya. Ruang publik yang dibentuk oleh perangkat lunak ini dikenal dengan sebutan taman kota.
Sebetulnya apa yang ada dalam berita Banjarmasin Post tanggal 3 April 2004 yang berjudul Lahan Taman Kota Minim, telah menggejala dalam desain kota di Indonesia. Kota-kota di Indoensia yang taman kotanya telah dipatok sekitar 40 persen harus ada, dalam perkembangannya, pemerintahannya tidak mampu mempertahankan keberadaan taman-taman kota yang berfungsi sebagai ruang publik.
Umumnya, lahan yang telah dipatok oleh pemerintah, dalam kebijaksanaan tata ruang kotanya, dilanggar sendiri dengan mengubah ruang publik tersebut menjadi bangunan-bangunan. Oleh karenanya, kini, ruang-ruang publik kota yang berupa lapangan terbuka maupun taman kota, lama kelamaan menghilang. Akibatnya, masyarakat kota akan terbelenggu dalam hiruk-pikuk kepadatan bangunan. Anak-anak kota akan bermain sepakbola di lorong-lorong jalan, karena tidak lagi disediakan lapangan terbuka. Mahasiswa akan turun ke jalan untuk demonstrasi, sehingga memacetkan lalu-lintas, karena lapangan terbuka untuk demo tidak disiapkan. Bahkan untuk Pemilu tanggal 5 April yang lalu, panitia bingung mencari lapangan terbuka untuk TPS, sehingga sebagai pemecahannya digunakan halaman gedung perkantoran dan gedung-gedung lainnya, bahkan halaman rumah tinggal yang merupakan lahan privat.
Bila kita kaji problem ruang publik, sebetulnya aspek pertanahan dan legalitas menjadi penyebab hilangnya ruang publik dalam desain kota di Indonesia saat ini. Desain kota yang diawali dengan perencanaan tata ruang kota, sebetulnya dalam perencanaannya telah dipersiapkan adanya ruang publik. Area yang telah ditetapkan sebagai ruang publik, yang problemnya sama dengan jalur hijau, lahan konservasi dan sejenisnya, seharusnya oleh pemerintah kota, area tersebut diamankan dari bangunan yang mungkin caranya dengan membeli lahan tersebut. Namun dalam penerapannya, jika pemerintah kotanya tidak mampu membeli area tersebut meskipun telah dilegalisasi menjadi peraturan, area tersebut tetap akan sulit menjadi ruang publik karena area tersebut merupakan hak milik seseorang misalnya. Namun demikian, ada juga yang mampu dibeli oleh pemerintah kota atau telah menjadi tanah negara, akan tetapi dalam perkembangannya tidak dipertahankan sebagai ruang publik, namun dikembangkan menjadi bangunan-bangunan.
Dari aspek legalitas, ada kecenderungan produk tata ruang yang telah diseminarkan dan disetujui tidak langsung diajukan ke DPRD untuk memperoleh legalisasi. Hal ini juga akan memberikan dampak tidak terciptanya ruang publik sesuai rencana tata ruang. Selain itu, si perencana kota juga dituntut jeli dalam menentukan area mana yang tepat untuk ruang publik. Bisa jadi telah ditentukan oleh si perencana kota, ternyata area untuk ruang publik tersebut merupakan hak milik seseorang, sedang harga tanah per meternya cukup mahal. Akibatnya pemerintah kota kesulitan mewujudkan ruang publik sesuai yang telah ditentukan oleh si perencana kota.
Kini pertanyaanya bagaimana memaksimalkan kembali kehadiran ruang publik dalam desain kota sehingga kota tersebut layak disebut kota demokrasi? Apakah bangunan-bangunan yang telah dibangun pada area ruang publik tersebut dibongkar untuk dijadikan kembali sebagai ruang publik?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dibedakan terlebih dahulu antara kota yang telah terlanjur terbangun padat dengan kota yang akan dibangun. Untuk kota yang terlanjur terbangun padat tentunya lebih komplek ketimbang kota baru yang akan dibangun. Untuk membongkar bangunan-bangunan yang dibangun pada area ruang publik tentunya juga sulit, lebih-lebih bila bangunan tersebut telah memberikan nilai tambah yang lebih ketimbang ruang publik bagi pemerintah kota.
Untuk kota yang terlanjur terbangun padat, ruang publik dapat dihadirkan kembali melalui konsep public space in private property (ruang publik dalam ruang privat) yaitu menjadikan halaman-halaman muka bangunan yang berhubungan dengan jalan yang merupakan lahan milik pribadi sebagai ruang publik. Oleh karenanya, lahan muka bangunan yang terkena konsep ini tidak diperbolehkan menghadirkan pagar sebagai pembatas tepi damija (daerah milik jalan) dengan tepi lahannya. Lahan yang tetap menjadi hak milik pribadi yang bersangkutan, dalam konsepnya dibentuk menjadi ruang publik yang mungkin dalam desainnya digunakan untuk pedestrian way dengan dipercantik oleh taman-taman kota. Untuk mewujudkan hal ini, mungkin memerlukan waktu yang cukup lama, karena harus diawali dengan sosialisasi pemerintah kepada pemilik lahan.
Halaman kantor-kantor pemerintah juga dapat dipergunakan sebagai ruang publik. Halaman kantor pemerintah yang bila pagi hingga siang hari umumnya digunakan sebagai area parkir, sore harinya dapat diubah menjadi ruang publik untuk ruang gerak olah raga bagi anak-anak. Sedangkan untuk demontrasi yang biasanya ditujukan ke gedung DPRD dan kantor Gubernur/Walikota/Bupati, pada kantor-kantor ini sebaiknya disiapkan lahan untuk berdemonstrasi.
Sedangkan untuk kota yang akan dibangun, dengan belajar dari pengalaman implementasi rencana tata ruang kota, mungkin akan lebih berhasil bila ruang publik dihadirkan dalam damija (daerah milik jalan) atau pada persimpangan-persimpangan damija atau dihadirkan bersamaan dengan bangunan-bangunan penting kota. Dengan meletakkan ruang publik pada tiga elemen tersebut, tentunya akan lebih memudahkan pemerintah dalam mewujudkan ruang publik yang akhirnya ruang publik ini sangat aneh bila kelak didirikan bangunan-bangunan oleh pemerintah yang bersangkutan. Dengan konsep ini, diharapkan akan memaksimalkan kembali hadirnya ruang publik, taman kota maupun ruang demokratik.

Minggu, 15 Mei 2011

IDENTIFIKASI KANAL KOTA BANJARMASIN BERDASARKAN PETA TAHUN 1700 - 1954

Wijanarka
Telah terbit dalam Majalah Ilmiah MAKET, Vol. 3. No. 1, April 2009, terbitan HMA Universitas Palangka Raya



ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk : mengidentifikasi kanal-kanal kota Banjarmasin berdasarkan peta Banjarmasin tahun 1700 – 1954. Untuk mencapai tujuan tersebut, data diperoleh melalui internet dan  pengamatan lapangan. Berdasarkan studi perkembangan kota Banjarmasin 1700 – 1954, diketahui puluhan kanal dibuat di kota Banjarmasin. Dari puluhan kanal tersebut, diketahui sepuluh kanal berada di pusat kota Banjarmasin sedangkan puluhan sisanya berada di pinggiran kota Banjarmasin. Kesepuluh kanal tersebut kini bernama : 1). Kanal Raden, 2). Kanal Jl. Sutoyo, 3). Kanal Jl. Veteran, 4). Kanal Jl. A Yani, 5). Kanal Pirih, 6). Kanal Benteng / Masjid Raya, 7). Kanal Pangambangan, 8). Kanal Jl. Ayar Mulawarman / Jl. Jafri Zam Zam, 9) Kanal Awang dan 10). Kanal Bilu.

Peta Banjarmasin 1890

Sumber gambar : www.ebay.com