Selasa, 31 Mei 2011

MASJID MASJID PERTAMA DI KALTENG

 Kotawaringin Lama (Pangkalanbun)
 Kotawaringin Lama (Pangkalanbun)
 Sampit
 Sukamara
 Nanga Bulik
 Puruk Cahu
Kuala Kapuas

Senin, 23 Mei 2011

RUANG DEMOKRATIK, RUANG PUBLIK DAN TAMAN KOTA

Wijanarka

Terbit dalam harian Banjarmasin Post, April 2004

Suatu kota dapat dikatakan demokratik apabila dalam desainnya dihadirkan ruangan yang disebut ruang publik (publik space). Ruang publik yang merupakan ruang kota (urban space), dalam sejarah kota, sebetulnya telah ada sejak zaman kerajaan Romawi (2 SM) yang merupakan kerajaan demokrasi. Dalam ruang yang dibentuk oleh konfigurasi massa bangunan ini, sesama masyarakat kota dapat menyampaikan pendapat maupun kritikan untuk seseorang yang sedang berkuasa melalui anggota senat kerajaan.
Dalam perkembangannya ruang demokrasi yang dikenal dengan sebutan roman forum, berkembang menjadi square di zaman abad pertengahan, piazza di zaman renaisance dan kini berkembang menjadi ruang-ruang kota yang berfungsi sebagai ruang publik. Fungsi ruangan pun berkembang dari hanya berfungsi sebagai ruang demokrasi, kini juga berfungsi sebagai tempat bertemunya masyarakat kota guna melakukan kontak sosial, berolahraga, berekreasi bahkan berpolitik. Dalam bentuk desain juga mengalami perkembangan dari yang dibentuk oleh konfigurasi massa bangunan (perangkat kasar), berkembang menjadi ruangan yang dibentuk oleh vegetasi (perangkat lunak) atau kombinasinya. Ruang publik yang dibentuk oleh perangkat lunak ini dikenal dengan sebutan taman kota.
Sebetulnya apa yang ada dalam berita Banjarmasin Post tanggal 3 April 2004 yang berjudul Lahan Taman Kota Minim, telah menggejala dalam desain kota di Indonesia. Kota-kota di Indoensia yang taman kotanya telah dipatok sekitar 40 persen harus ada, dalam perkembangannya, pemerintahannya tidak mampu mempertahankan keberadaan taman-taman kota yang berfungsi sebagai ruang publik.
Umumnya, lahan yang telah dipatok oleh pemerintah, dalam kebijaksanaan tata ruang kotanya, dilanggar sendiri dengan mengubah ruang publik tersebut menjadi bangunan-bangunan. Oleh karenanya, kini, ruang-ruang publik kota yang berupa lapangan terbuka maupun taman kota, lama kelamaan menghilang. Akibatnya, masyarakat kota akan terbelenggu dalam hiruk-pikuk kepadatan bangunan. Anak-anak kota akan bermain sepakbola di lorong-lorong jalan, karena tidak lagi disediakan lapangan terbuka. Mahasiswa akan turun ke jalan untuk demonstrasi, sehingga memacetkan lalu-lintas, karena lapangan terbuka untuk demo tidak disiapkan. Bahkan untuk Pemilu tanggal 5 April yang lalu, panitia bingung mencari lapangan terbuka untuk TPS, sehingga sebagai pemecahannya digunakan halaman gedung perkantoran dan gedung-gedung lainnya, bahkan halaman rumah tinggal yang merupakan lahan privat.
Bila kita kaji problem ruang publik, sebetulnya aspek pertanahan dan legalitas menjadi penyebab hilangnya ruang publik dalam desain kota di Indonesia saat ini. Desain kota yang diawali dengan perencanaan tata ruang kota, sebetulnya dalam perencanaannya telah dipersiapkan adanya ruang publik. Area yang telah ditetapkan sebagai ruang publik, yang problemnya sama dengan jalur hijau, lahan konservasi dan sejenisnya, seharusnya oleh pemerintah kota, area tersebut diamankan dari bangunan yang mungkin caranya dengan membeli lahan tersebut. Namun dalam penerapannya, jika pemerintah kotanya tidak mampu membeli area tersebut meskipun telah dilegalisasi menjadi peraturan, area tersebut tetap akan sulit menjadi ruang publik karena area tersebut merupakan hak milik seseorang misalnya. Namun demikian, ada juga yang mampu dibeli oleh pemerintah kota atau telah menjadi tanah negara, akan tetapi dalam perkembangannya tidak dipertahankan sebagai ruang publik, namun dikembangkan menjadi bangunan-bangunan.
Dari aspek legalitas, ada kecenderungan produk tata ruang yang telah diseminarkan dan disetujui tidak langsung diajukan ke DPRD untuk memperoleh legalisasi. Hal ini juga akan memberikan dampak tidak terciptanya ruang publik sesuai rencana tata ruang. Selain itu, si perencana kota juga dituntut jeli dalam menentukan area mana yang tepat untuk ruang publik. Bisa jadi telah ditentukan oleh si perencana kota, ternyata area untuk ruang publik tersebut merupakan hak milik seseorang, sedang harga tanah per meternya cukup mahal. Akibatnya pemerintah kota kesulitan mewujudkan ruang publik sesuai yang telah ditentukan oleh si perencana kota.
Kini pertanyaanya bagaimana memaksimalkan kembali kehadiran ruang publik dalam desain kota sehingga kota tersebut layak disebut kota demokrasi? Apakah bangunan-bangunan yang telah dibangun pada area ruang publik tersebut dibongkar untuk dijadikan kembali sebagai ruang publik?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dibedakan terlebih dahulu antara kota yang telah terlanjur terbangun padat dengan kota yang akan dibangun. Untuk kota yang terlanjur terbangun padat tentunya lebih komplek ketimbang kota baru yang akan dibangun. Untuk membongkar bangunan-bangunan yang dibangun pada area ruang publik tentunya juga sulit, lebih-lebih bila bangunan tersebut telah memberikan nilai tambah yang lebih ketimbang ruang publik bagi pemerintah kota.
Untuk kota yang terlanjur terbangun padat, ruang publik dapat dihadirkan kembali melalui konsep public space in private property (ruang publik dalam ruang privat) yaitu menjadikan halaman-halaman muka bangunan yang berhubungan dengan jalan yang merupakan lahan milik pribadi sebagai ruang publik. Oleh karenanya, lahan muka bangunan yang terkena konsep ini tidak diperbolehkan menghadirkan pagar sebagai pembatas tepi damija (daerah milik jalan) dengan tepi lahannya. Lahan yang tetap menjadi hak milik pribadi yang bersangkutan, dalam konsepnya dibentuk menjadi ruang publik yang mungkin dalam desainnya digunakan untuk pedestrian way dengan dipercantik oleh taman-taman kota. Untuk mewujudkan hal ini, mungkin memerlukan waktu yang cukup lama, karena harus diawali dengan sosialisasi pemerintah kepada pemilik lahan.
Halaman kantor-kantor pemerintah juga dapat dipergunakan sebagai ruang publik. Halaman kantor pemerintah yang bila pagi hingga siang hari umumnya digunakan sebagai area parkir, sore harinya dapat diubah menjadi ruang publik untuk ruang gerak olah raga bagi anak-anak. Sedangkan untuk demontrasi yang biasanya ditujukan ke gedung DPRD dan kantor Gubernur/Walikota/Bupati, pada kantor-kantor ini sebaiknya disiapkan lahan untuk berdemonstrasi.
Sedangkan untuk kota yang akan dibangun, dengan belajar dari pengalaman implementasi rencana tata ruang kota, mungkin akan lebih berhasil bila ruang publik dihadirkan dalam damija (daerah milik jalan) atau pada persimpangan-persimpangan damija atau dihadirkan bersamaan dengan bangunan-bangunan penting kota. Dengan meletakkan ruang publik pada tiga elemen tersebut, tentunya akan lebih memudahkan pemerintah dalam mewujudkan ruang publik yang akhirnya ruang publik ini sangat aneh bila kelak didirikan bangunan-bangunan oleh pemerintah yang bersangkutan. Dengan konsep ini, diharapkan akan memaksimalkan kembali hadirnya ruang publik, taman kota maupun ruang demokratik.

Minggu, 15 Mei 2011

IDENTIFIKASI KANAL KOTA BANJARMASIN BERDASARKAN PETA TAHUN 1700 - 1954

Wijanarka
Telah terbit dalam Majalah Ilmiah MAKET, Vol. 3. No. 1, April 2009, terbitan HMA Universitas Palangka Raya



ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk : mengidentifikasi kanal-kanal kota Banjarmasin berdasarkan peta Banjarmasin tahun 1700 – 1954. Untuk mencapai tujuan tersebut, data diperoleh melalui internet dan  pengamatan lapangan. Berdasarkan studi perkembangan kota Banjarmasin 1700 – 1954, diketahui puluhan kanal dibuat di kota Banjarmasin. Dari puluhan kanal tersebut, diketahui sepuluh kanal berada di pusat kota Banjarmasin sedangkan puluhan sisanya berada di pinggiran kota Banjarmasin. Kesepuluh kanal tersebut kini bernama : 1). Kanal Raden, 2). Kanal Jl. Sutoyo, 3). Kanal Jl. Veteran, 4). Kanal Jl. A Yani, 5). Kanal Pirih, 6). Kanal Benteng / Masjid Raya, 7). Kanal Pangambangan, 8). Kanal Jl. Ayar Mulawarman / Jl. Jafri Zam Zam, 9) Kanal Awang dan 10). Kanal Bilu.

Peta Banjarmasin 1890

Sumber gambar : www.ebay.com



Selasa, 10 Mei 2011

ALTERNATIF BENTUK KOTA AGRO DAN MODEL ANTISIPASI AIR PASANG PADA KOTA BARU DI PESISIR KALIMANTAN

Wijanarka Terbit dalam harian KOMPAS 13 Maret 2005

Pembangunan kota-kota pesisir di utara Jawa dewasa ini ternyata sebagian besar merusak ekosistem kawasan pesisir dan mengakibatkan beberapa area di kota pesisir ini tergenang air bila air laut pasang. Penyebab keadaan di atas adalah pembangunan kota pesisir telah mengubah zona penyangga kawasan pesisir seperti rawa, tambak, dan hutan mangrove menjadi kawasan terbangun kota. Akibatnya, bila terjadi pasang air laut yang seharusnya meresap di zona penyangga seperti tersebut di atas, menjalar ke kawasan terbangun menjadi banjir meskipun hujan tidak terjadi. Kondisi ini akan lebih parah bila musim penghujan berlangsung.

Peristiwa ini kembali mengingatkan betapa pentingnya zona penyangga bagi kota pesisir agar air pasang laut tidak menggenangi area terbangun kota. Pengalaman ini perlu menjadi pertimbangan dalam mengembangkan kota pesisir yang belum telanjur mengubah kawasan penyangga tersebut menjadi kawasan terbangun, maupun dalam merencanakan kota baru di pesisir.

Kalimantan merupakan salah satu pulau yang memiliki ribuan permukiman dan kini beberapa permukimannya telah berkembang menjadi kota. Sesuai kosmologinya, permukiman selalu berada di tepi sungai meskipun berada di pesisir. Sejak adanya pemekaran sejumlah kabupaten di Kalimantan, berubah pula sejumlah wilayah berkarakter pedesaan menjadi ibu kota kabupaten. Kondisi ini mengakibatkan munculnya kegiatan perencanaan dan perancangan kota guna mendukung proses perubahan itu.

Kuala Pembuang, yang sejak tahun 2002 menjadi ibu kota Kabupaten Seruyan di Kalimantan Tengah, merupakan salah satu wilayah berkarakter pedesaan yang mengalami proses menuju perkotaan. Proses perkotaan ini diawali dengan penentuan kompleks kantor bupati oleh pemerintah dan masyarakat setempat, menggunakan lahan hibah milik masyarakat yang hanya berjarak sekitar 2,75 km dari garis pantai.

Kuala Pembuang merupakan wilayah pedesaan yang didukung sektor perikanan, pertanian/perkebunan, dan peternakan. Dalam sektor perikanan, terdapat potensi tambak ikan dan udang yang pada tahun 2003 produksinya mencapai 13.554 ton. Dari sektor pertanian, komoditas andalan adalah padi, jagung, dan kedelai; dari sektor perkebunan andalannya kelapa dalam dan jambu monyet; sedangkan dari sektor peternakan komoditas andalan adalah sapi potong dan kerbau, dengan produksi per tahun 50.000 ekor untuk sapi potong dan 4.500 untuk kerbau. Selain itu, kambing dan ayam juga merupakan komoditas andalan kota Kuala Pembuang.

Dalam penyusunan rencana induk Kuala Pembuang 2003-2013 telah ditetapkan wilayah seluas 10.000 hektar sebagai wilayah perkotaan yang dikelilingi areal untuk sektor unggulan di atas. Nantinya, areal itu akan menjadi hinterland bagi Kuala Pembuang. Dalam wilayah 10.000 hektar tersebut juga terdapat jaringan irigasi guna mendukung sektor pertanian/perkebunan yang dibuat dengan pola cenderung tegak lurus terhadap Sungai Seruyan. Pada area terbangun kota sering terjadi banjir akibat air pasang Sungai Seruyan yang ketinggiannya cenderung meninggi tiap tahunnya. Kondisi ini merupakan permasalahan saat ini dan masa depan Kuala Pembuang yang perlu dicarikan pemecahannya. Bila dikaitkan dengan bahaya bencana alam, daerah Kuala Pembuang ini berada di Zona VI, yaitu zona stabil. Dengan demikian, daerah Kuala Pembuang ini merupakan daerah aman gempa dan juga tsunami di Indonesia.

Dengan melihat potensi, prospek, permasalahan saat ini, dan kemungkinan permasalahan masa depan, pengembangan Kuala Pembuang diarahkan dengan konsep kota kanal berbasis agro. Berikut diuraikan beberapa konsep perencanaan yang mengakomodasi potensi, kemungkinan prospek, dan permasalahan yang ada.

Jaringan irigasi yang telah ada dikembangkan menjadi kanal yang melintasi kota sebagai antisipasi menjalarnya pasang air sungai. Kanal ini juga tetap difungsikan sebagai jaringan irigasi bagi areal pertanian/perkebunan yang merupakan hinterland-nya Kuala Pembuang. Pada masa datang, kanal ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai jalur wisata dalam kota sehingga akan memberi potensi pendapatan asli daerah.

Berkaitan dengan kawasan sisi selatan kota yang berupa rawa, tambak, dan pantai sepanjang sekitar dua kilometer dari kawasan terbangun kota, dengan memetik pengalaman dampak negatif akibat pengembangan kota pesisir, kawasan pesisir ini dijadikan lahan konservasi dan diperuntukkan sebagai zona penyangga kota.

Zona penyangga ini berfungsi juga sebagai zona antisipasi meningginya air laut akibat siklus pasang surut. Untuk keperluan itu, tata ruangnya dibagi atas lima zona, yaitu (dari kompleks kantor bupati ke selatan) areal hutan kota berupa penanaman pohon rindang, areal kanal sebagai antisipasi air pasang, areal konservasi dengan menanam kelapa dan pohon rindang, areal konservasi tambak dengan menanam pohon api-api pada pematang, dan areal konservasi pantai dengan menanam kelapa dan hutan mangrove.

Dengan hutan mangrove ini diharapkan keberadaannya akan menjadi tempat hidup dan berkembang biak ikan, udang, burung, dan satwa liar lainnya seperti bekantan, bangau tongtong, dan burung migran sehingga keberadaan hutan mangrove ini juga akan menambah potensi pariwisata.

Berkaitan dengan potensi agro dan guna terwujudnya konsep agrobisnis bagi Kuala Pembuang dan desa-desa satelitnya, maka pasar induk kota tetap diletakkan di tepi sungai dan berada di kawasan pusat kota. Tempat pelelangan ikan (TPI) diletakkan di tepi sungai pada kawasan pusat kota. Pelabuhan perikanan diletakkan di tepi sungai utama kota dan letaknya berdekatan dengan TPI.

Agar suasana pertanian, perkebunan, dan perikanan tetap tercipta di dalam kota, di antara pasar induk kota dan TPI diletakkan area pusat perdagangan bahan, alat, dan bibit pertanian, perkebunan, serta perikanan dan terletak di tepi sungai. Di seberang areal pusat perdagangan itu diletakkan kawasan industri pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan.

Untuk mewujudkan konsep agropolitan sebagai basis agro bagi kota bersangkutan, diciptakan ketergantungan dan keseimbangan hasil kegiatan pertanian di pedesaan yang merupakan kampung satelit bagi kota. Caranya dengan membangun pasar hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan di tiap pedesaan yang diselenggarakan bergantian.

Kuala Pembuang merupakan salah satu dari puluhan permukiman tepi sungai di pesisir Kalimantan yang pertama kali di era kemerdekaan ini berkembang sebagai kawasan perkotaan. Bila meninjau permukiman tepi sungai di pesisir Kalimantan, sebagian besar permukiman itu memiliki kemiripan dengan Kuala Pembuang.

Karakter di Kalimantan umumnya merupakan sungai pasang surut. Akibat siklus pasang surut ini, apa yang terjadi di Kuala Pembuang, yaitu adanya banjir air pasang sungai, kemungkinan besar juga terjadi di permukiman tersebut. Begitu pula sektor unggulan seperti yang dimiliki Kuala Pembuang kemungkinan besar juga menjadi sektor unggulan bagi permukiman tepi sungai di pesisir.

Dewasa ini isu pemekaran wilayah mencuat di mana-mana. Kalimantan, yang merupakan pulau terbesar di Indonesia dan tiap kabupatennya memiliki wilayah sangat luas, kemungkinan besar suatu saat juga akan melakukan pemekaran wilayah lagi.

Pemekaran wilayah tersebut kemungkinan besar suatu saat juga mengakibatkan berubahnya fungsi beberapa permukiman tepi sungai di pesisir menjadi ibu kota kabupaten. Dengan perubahan ini, terjadilah proses perubahan wilayah dari pedesaan pesisiran menuju perkotaan pesisiran.

Konsep pengembangan kota dan model antisipasi air pasang laut yang direncanakan di Kuala Pembuang ini dapat dijadikan alternatif mengembangkan permukiman tepi sungai di pesisir Kalimantan bila akan diubah menjadi wilayah perkotaan.

Sabtu, 07 Mei 2011

KAWASAN TEPIAN AIR TEMPO DOELOE

 KALTENG

Pahandut 1929 (Cikal Bakal Palangka Raya)

Sampit 1947
 Sampit 1947
 Sampit 1920
 Kuala Kapuas 1947
 Kuala Kapuas 1947
 Mendawai Pangkalanbun 1938
 Kampung Raja, Pangkalanbun 1940
 Sukamara, 1940an.
 Sukamara 1940an
 Puruk Cahu
 Nanga Bulik 1930an.


KALSEL, KALBAR & KALTIM

 Banjarmasin
 Banjarmasin (Kini Masjid Raya)
 Pontianak
 Kanal kota Pontianak 1948
 Samarinda 1920
 Samarinda 1920

Kanal kota Samarinda 1920
 Balikpapan 1955
Balikpapan 1955