Wijanarka Terbit dalam harian KOMPAS 13 Maret 2005
Pembangunan kota-kota pesisir di utara Jawa dewasa ini ternyata sebagian besar merusak ekosistem kawasan pesisir dan mengakibatkan beberapa area di kota pesisir ini tergenang air bila air laut pasang. Penyebab keadaan di atas adalah pembangunan kota pesisir telah mengubah zona penyangga kawasan pesisir seperti rawa, tambak, dan hutan mangrove menjadi kawasan terbangun kota. Akibatnya, bila terjadi pasang air laut yang seharusnya meresap di zona penyangga seperti tersebut di atas, menjalar ke kawasan terbangun menjadi banjir meskipun hujan tidak terjadi. Kondisi ini akan lebih parah bila musim penghujan berlangsung.
Peristiwa ini kembali mengingatkan betapa pentingnya zona penyangga bagi kota pesisir agar air pasang laut tidak menggenangi area terbangun kota. Pengalaman ini perlu menjadi pertimbangan dalam mengembangkan kota pesisir yang belum telanjur mengubah kawasan penyangga tersebut menjadi kawasan terbangun, maupun dalam merencanakan kota baru di pesisir.
Kalimantan merupakan salah satu pulau yang memiliki ribuan permukiman dan kini beberapa permukimannya telah berkembang menjadi kota. Sesuai kosmologinya, permukiman selalu berada di tepi sungai meskipun berada di pesisir. Sejak adanya pemekaran sejumlah kabupaten di Kalimantan, berubah pula sejumlah wilayah berkarakter pedesaan menjadi ibu kota kabupaten. Kondisi ini mengakibatkan munculnya kegiatan perencanaan dan perancangan kota guna mendukung proses perubahan itu.
Kuala Pembuang, yang sejak tahun 2002 menjadi ibu kota Kabupaten Seruyan di Kalimantan Tengah, merupakan salah satu wilayah berkarakter pedesaan yang mengalami proses menuju perkotaan. Proses perkotaan ini diawali dengan penentuan kompleks kantor bupati oleh pemerintah dan masyarakat setempat, menggunakan lahan hibah milik masyarakat yang hanya berjarak sekitar 2,75 km dari garis pantai.
Kuala Pembuang merupakan wilayah pedesaan yang didukung sektor perikanan, pertanian/perkebunan, dan peternakan. Dalam sektor perikanan, terdapat potensi tambak ikan dan udang yang pada tahun 2003 produksinya mencapai 13.554 ton. Dari sektor pertanian, komoditas andalan adalah padi, jagung, dan kedelai; dari sektor perkebunan andalannya kelapa dalam dan jambu monyet; sedangkan dari sektor peternakan komoditas andalan adalah sapi potong dan kerbau, dengan produksi per tahun 50.000 ekor untuk sapi potong dan 4.500 untuk kerbau. Selain itu, kambing dan ayam juga merupakan komoditas andalan kota Kuala Pembuang.
Dalam penyusunan rencana induk Kuala Pembuang 2003-2013 telah ditetapkan wilayah seluas 10.000 hektar sebagai wilayah perkotaan yang dikelilingi areal untuk sektor unggulan di atas. Nantinya, areal itu akan menjadi hinterland bagi Kuala Pembuang. Dalam wilayah 10.000 hektar tersebut juga terdapat jaringan irigasi guna mendukung sektor pertanian/perkebunan yang dibuat dengan pola cenderung tegak lurus terhadap Sungai Seruyan. Pada area terbangun kota sering terjadi banjir akibat air pasang Sungai Seruyan yang ketinggiannya cenderung meninggi tiap tahunnya. Kondisi ini merupakan permasalahan saat ini dan masa depan Kuala Pembuang yang perlu dicarikan pemecahannya. Bila dikaitkan dengan bahaya bencana alam, daerah Kuala Pembuang ini berada di Zona VI, yaitu zona stabil. Dengan demikian, daerah Kuala Pembuang ini merupakan daerah aman gempa dan juga tsunami di Indonesia.
Dengan melihat potensi, prospek, permasalahan saat ini, dan kemungkinan permasalahan masa depan, pengembangan Kuala Pembuang diarahkan dengan konsep kota kanal berbasis agro. Berikut diuraikan beberapa konsep perencanaan yang mengakomodasi potensi, kemungkinan prospek, dan permasalahan yang ada.
Jaringan irigasi yang telah ada dikembangkan menjadi kanal yang melintasi kota sebagai antisipasi menjalarnya pasang air sungai. Kanal ini juga tetap difungsikan sebagai jaringan irigasi bagi areal pertanian/perkebunan yang merupakan hinterland-nya Kuala Pembuang. Pada masa datang, kanal ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai jalur wisata dalam kota sehingga akan memberi potensi pendapatan asli daerah.
Berkaitan dengan kawasan sisi selatan kota yang berupa rawa, tambak, dan pantai sepanjang sekitar dua kilometer dari kawasan terbangun kota, dengan memetik pengalaman dampak negatif akibat pengembangan kota pesisir, kawasan pesisir ini dijadikan lahan konservasi dan diperuntukkan sebagai zona penyangga kota.
Zona penyangga ini berfungsi juga sebagai zona antisipasi meningginya air laut akibat siklus pasang surut. Untuk keperluan itu, tata ruangnya dibagi atas lima zona, yaitu (dari kompleks kantor bupati ke selatan) areal hutan kota berupa penanaman pohon rindang, areal kanal sebagai antisipasi air pasang, areal konservasi dengan menanam kelapa dan pohon rindang, areal konservasi tambak dengan menanam pohon api-api pada pematang, dan areal konservasi pantai dengan menanam kelapa dan hutan mangrove.
Dengan hutan mangrove ini diharapkan keberadaannya akan menjadi tempat hidup dan berkembang biak ikan, udang, burung, dan satwa liar lainnya seperti bekantan, bangau tongtong, dan burung migran sehingga keberadaan hutan mangrove ini juga akan menambah potensi pariwisata.
Berkaitan dengan potensi agro dan guna terwujudnya konsep agrobisnis bagi Kuala Pembuang dan desa-desa satelitnya, maka pasar induk kota tetap diletakkan di tepi sungai dan berada di kawasan pusat kota. Tempat pelelangan ikan (TPI) diletakkan di tepi sungai pada kawasan pusat kota. Pelabuhan perikanan diletakkan di tepi sungai utama kota dan letaknya berdekatan dengan TPI.
Agar suasana pertanian, perkebunan, dan perikanan tetap tercipta di dalam kota, di antara pasar induk kota dan TPI diletakkan area pusat perdagangan bahan, alat, dan bibit pertanian, perkebunan, serta perikanan dan terletak di tepi sungai. Di seberang areal pusat perdagangan itu diletakkan kawasan industri pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan.
Untuk mewujudkan konsep agropolitan sebagai basis agro bagi kota bersangkutan, diciptakan ketergantungan dan keseimbangan hasil kegiatan pertanian di pedesaan yang merupakan kampung satelit bagi kota. Caranya dengan membangun pasar hasil pertanian, perikanan, dan perkebunan di tiap pedesaan yang diselenggarakan bergantian.
Kuala Pembuang merupakan salah satu dari puluhan permukiman tepi sungai di pesisir Kalimantan yang pertama kali di era kemerdekaan ini berkembang sebagai kawasan perkotaan. Bila meninjau permukiman tepi sungai di pesisir Kalimantan, sebagian besar permukiman itu memiliki kemiripan dengan Kuala Pembuang.
Karakter di Kalimantan umumnya merupakan sungai pasang surut. Akibat siklus pasang surut ini, apa yang terjadi di Kuala Pembuang, yaitu adanya banjir air pasang sungai, kemungkinan besar juga terjadi di permukiman tersebut. Begitu pula sektor unggulan seperti yang dimiliki Kuala Pembuang kemungkinan besar juga menjadi sektor unggulan bagi permukiman tepi sungai di pesisir.
Dewasa ini isu pemekaran wilayah mencuat di mana-mana. Kalimantan, yang merupakan pulau terbesar di Indonesia dan tiap kabupatennya memiliki wilayah sangat luas, kemungkinan besar suatu saat juga akan melakukan pemekaran wilayah lagi.
Pemekaran wilayah tersebut kemungkinan besar suatu saat juga mengakibatkan berubahnya fungsi beberapa permukiman tepi sungai di pesisir menjadi ibu kota kabupaten. Dengan perubahan ini, terjadilah proses perubahan wilayah dari pedesaan pesisiran menuju perkotaan pesisiran.
Konsep pengembangan kota dan model antisipasi air pasang laut yang direncanakan di Kuala Pembuang ini dapat dijadikan alternatif mengembangkan permukiman tepi sungai di pesisir Kalimantan bila akan diubah menjadi wilayah perkotaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar