Terbit dalam harian Banjarmasin Post, April 2004
Suatu kota dapat dikatakan demokratik apabila dalam desainnya dihadirkan ruangan yang disebut ruang publik (publik space). Ruang publik yang merupakan ruang kota (urban space), dalam sejarah kota, sebetulnya telah ada sejak zaman kerajaan Romawi (2 SM) yang merupakan kerajaan demokrasi. Dalam ruang yang dibentuk oleh konfigurasi massa bangunan ini, sesama masyarakat kota dapat menyampaikan pendapat maupun kritikan untuk seseorang yang sedang berkuasa melalui anggota senat kerajaan.
Dalam perkembangannya ruang demokrasi yang dikenal dengan sebutan roman forum, berkembang menjadi square di zaman abad pertengahan, piazza di zaman renaisance dan kini berkembang menjadi ruang-ruang kota yang berfungsi sebagai ruang publik. Fungsi ruangan pun berkembang dari hanya berfungsi sebagai ruang demokrasi, kini juga berfungsi sebagai tempat bertemunya masyarakat kota guna melakukan kontak sosial, berolahraga, berekreasi bahkan berpolitik. Dalam bentuk desain juga mengalami perkembangan dari yang dibentuk oleh konfigurasi massa bangunan (perangkat kasar), berkembang menjadi ruangan yang dibentuk oleh vegetasi (perangkat lunak) atau kombinasinya. Ruang publik yang dibentuk oleh perangkat lunak ini dikenal dengan sebutan taman kota.
Sebetulnya apa yang ada dalam berita Banjarmasin Post tanggal 3 April 2004 yang berjudul Lahan Taman Kota Minim, telah menggejala dalam desain kota di Indonesia. Kota-kota di Indoensia yang taman kotanya telah dipatok sekitar 40 persen harus ada, dalam perkembangannya, pemerintahannya tidak mampu mempertahankan keberadaan taman-taman kota yang berfungsi sebagai ruang publik.
Umumnya, lahan yang telah dipatok oleh pemerintah, dalam kebijaksanaan tata ruang kotanya, dilanggar sendiri dengan mengubah ruang publik tersebut menjadi bangunan-bangunan. Oleh karenanya, kini, ruang-ruang publik kota yang berupa lapangan terbuka maupun taman kota, lama kelamaan menghilang. Akibatnya, masyarakat kota akan terbelenggu dalam hiruk-pikuk kepadatan bangunan. Anak-anak kota akan bermain sepakbola di lorong-lorong jalan, karena tidak lagi disediakan lapangan terbuka. Mahasiswa akan turun ke jalan untuk demonstrasi, sehingga memacetkan lalu-lintas, karena lapangan terbuka untuk demo tidak disiapkan. Bahkan untuk Pemilu tanggal 5 April yang lalu, panitia bingung mencari lapangan terbuka untuk TPS, sehingga sebagai pemecahannya digunakan halaman gedung perkantoran dan gedung-gedung lainnya, bahkan halaman rumah tinggal yang merupakan lahan privat.
Bila kita kaji problem ruang publik, sebetulnya aspek pertanahan dan legalitas menjadi penyebab hilangnya ruang publik dalam desain kota di Indonesia saat ini. Desain kota yang diawali dengan perencanaan tata ruang kota, sebetulnya dalam perencanaannya telah dipersiapkan adanya ruang publik. Area yang telah ditetapkan sebagai ruang publik, yang problemnya sama dengan jalur hijau, lahan konservasi dan sejenisnya, seharusnya oleh pemerintah kota, area tersebut diamankan dari bangunan yang mungkin caranya dengan membeli lahan tersebut. Namun dalam penerapannya, jika pemerintah kotanya tidak mampu membeli area tersebut meskipun telah dilegalisasi menjadi peraturan, area tersebut tetap akan sulit menjadi ruang publik karena area tersebut merupakan hak milik seseorang misalnya. Namun demikian, ada juga yang mampu dibeli oleh pemerintah kota atau telah menjadi tanah negara, akan tetapi dalam perkembangannya tidak dipertahankan sebagai ruang publik, namun dikembangkan menjadi bangunan-bangunan.
Dari aspek legalitas, ada kecenderungan produk tata ruang yang telah diseminarkan dan disetujui tidak langsung diajukan ke DPRD untuk memperoleh legalisasi. Hal ini juga akan memberikan dampak tidak terciptanya ruang publik sesuai rencana tata ruang. Selain itu, si perencana kota juga dituntut jeli dalam menentukan area mana yang tepat untuk ruang publik. Bisa jadi telah ditentukan oleh si perencana kota, ternyata area untuk ruang publik tersebut merupakan hak milik seseorang, sedang harga tanah per meternya cukup mahal. Akibatnya pemerintah kota kesulitan mewujudkan ruang publik sesuai yang telah ditentukan oleh si perencana kota.
Kini pertanyaanya bagaimana memaksimalkan kembali kehadiran ruang publik dalam desain kota sehingga kota tersebut layak disebut kota demokrasi? Apakah bangunan-bangunan yang telah dibangun pada area ruang publik tersebut dibongkar untuk dijadikan kembali sebagai ruang publik?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dibedakan terlebih dahulu antara kota yang telah terlanjur terbangun padat dengan kota yang akan dibangun. Untuk kota yang terlanjur terbangun padat tentunya lebih komplek ketimbang kota baru yang akan dibangun. Untuk membongkar bangunan-bangunan yang dibangun pada area ruang publik tentunya juga sulit, lebih-lebih bila bangunan tersebut telah memberikan nilai tambah yang lebih ketimbang ruang publik bagi pemerintah kota.
Untuk kota yang terlanjur terbangun padat, ruang publik dapat dihadirkan kembali melalui konsep public space in private property (ruang publik dalam ruang privat) yaitu menjadikan halaman-halaman muka bangunan yang berhubungan dengan jalan yang merupakan lahan milik pribadi sebagai ruang publik. Oleh karenanya, lahan muka bangunan yang terkena konsep ini tidak diperbolehkan menghadirkan pagar sebagai pembatas tepi damija (daerah milik jalan) dengan tepi lahannya. Lahan yang tetap menjadi hak milik pribadi yang bersangkutan, dalam konsepnya dibentuk menjadi ruang publik yang mungkin dalam desainnya digunakan untuk pedestrian way dengan dipercantik oleh taman-taman kota. Untuk mewujudkan hal ini, mungkin memerlukan waktu yang cukup lama, karena harus diawali dengan sosialisasi pemerintah kepada pemilik lahan.
Halaman kantor-kantor pemerintah juga dapat dipergunakan sebagai ruang publik. Halaman kantor pemerintah yang bila pagi hingga siang hari umumnya digunakan sebagai area parkir, sore harinya dapat diubah menjadi ruang publik untuk ruang gerak olah raga bagi anak-anak. Sedangkan untuk demontrasi yang biasanya ditujukan ke gedung DPRD dan kantor Gubernur/Walikota/Bupati, pada kantor-kantor ini sebaiknya disiapkan lahan untuk berdemonstrasi.
Sedangkan untuk kota yang akan dibangun, dengan belajar dari pengalaman implementasi rencana tata ruang kota, mungkin akan lebih berhasil bila ruang publik dihadirkan dalam damija (daerah milik jalan) atau pada persimpangan-persimpangan damija atau dihadirkan bersamaan dengan bangunan-bangunan penting kota. Dengan meletakkan ruang publik pada tiga elemen tersebut, tentunya akan lebih memudahkan pemerintah dalam mewujudkan ruang publik yang akhirnya ruang publik ini sangat aneh bila kelak didirikan bangunan-bangunan oleh pemerintah yang bersangkutan. Dengan konsep ini, diharapkan akan memaksimalkan kembali hadirnya ruang publik, taman kota maupun ruang demokratik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar